Part 7
–
–
–
Bahu kokoh itu semakin berguncang hebat, kekesalan melanda dirinya. Bukan hanya kekesalan tapi juga kekecewaan dan keputus asaan dan juga jangan lupakan kesedihan. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu seolah mampu memecahkan kepalanya saat ini juga. Rasa sakit di dalam hatinya semakin menjadi – jadi. Perasaan tidak terima dan marah masih menghantui dirinya sejak kepergian sang kakak beberapa waktu yang lalu, tubuh itu bahkan terasa enggan hanya untuk sekedar beranjak dari tempat duduknya. Benarkah ini takdirnya.
“Aku mencintainya, benar – benar mencintainya.” Teriak Kim bum di dalam hatinya. Cairan bening kembali menerobos kelopak matanya. Jika ada orang yang melihat kondisi Kim bum saat ini, pasti orang itu akan mengira bahwa Kim bum hanyalah seorang manusia yang sangat rapuh dan terlalu mendramatisir keadaan. Bagaimana bisa seorang pria sejati seperti dirinya menangis hanya karena seorang wanita yang sudah jelas tidak bisa diraihnya.
~~~
So eun baru saja kembali dari berbelanja, bahan – bahan belanjaan yang sedari tadi memberatkan kedua tangan kecil itu segera diturunkannya di meja dapur. Rumah tampak sepi, seperti tidak ada hawa kehidupan di dalamnya, kemana perginya dua orang pria yang menghuni rumah ini ketika So eun pergi berbelanja.
So eun melangkahkan kakinya mencari dua sosok pria yang memiliki ciri – ciri fisik yang serupa itu, ya..Tentu saja dua orang pria itu adalah suami dan juga adik iparnya. Entah setan dari mana yang membawa langkah kaki So eun untuk menuju kesebuah kamar yang seharusnya tidak dia datangi. Tidak ada larangan sebenarnya untuk mengunjungi kamar tersebut, mengingat rumah ini juga sudah menjadi rumah So eun. Tapi tidak baik saja jika So eun lebih memilih melihat adik iparnya terlebih dahulu dibandingkan suaminya, bukankah ini aneh.
So eun menyentuh gagang pintu dan memutarnya, tidak ada perasaan canggung sama sekali ketika So eun mendapati pintu kamar itu tidak terkunci. Didorongnya pintu kamar tersebut setelah sebelumnya So eun berhasil memutar gagang pintunya.
“Kupikir kau sedang tidak ada dirumah Kim bum-ssi.” Ucap So eun ketika berhasil membuka pintu kamar yang ternyata milik adik iparnya itu, dan mendapati sesosok pria yang tengah berdiri membelakangi tubuhnya.
“Dia memang tidak ada di sini.” Jawab pria tersebut, dan membalikkan badannya untuk menghadap So eun.
Gadis itu reflek memundurkan tubuhnya, ketika menyadari kesalahan yang dia lakukan.
“Oppa… a-apa yang kau lakukan?” Suara So eun tidak keluar dengan lancar, tapi tentu saja masih bisa didengar oleh sang suami.
So eun mengira pria yang saat ini ada di depannya itu adalah adik iparnya, tapi ternyata dugaannya itu salah besar ketika mendapati bahwa suaminya lah yang saat ini sedang berdiri menghadap dirinya sambil tersenyum kearahnya. So eun masih belum bisa membedakan antara Kim bum dan juga Ki bum. Seharusnya So eun sudah bisa lebih peka dengan perasaannya sekarang, walaupun mereka kembar bukankah mereka tetap memiliki perbedaan.
“Aku tidak suka melihat oppa memakai baju dan minyak wangi itu.” Kesal So eun, dan membalikkan tubuhnya berniat meninggalkan suaminya yang masih setia berdiri ditempatnya semula dengan senyuman yang membuat So eun sedikit takut.
“Apa karena ini milik adikku?” pertanyaan dari Kim bum mampu membuat So eun menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik menatap suaminya kembali. Dan senyuman itu masih ada di wajah tampan milik suaminya. So eun benar – benar tidak suka melihat senyum itu.
“Aku tidak suka oppa, tidak peduli itu milik siapa. Aku tidak suka melihat oppa menggunakan apapun yang bukan milikmu.”
Ki bum tersenyum mendapati reaksi berlebihan dari istrinya. Ki bum mendekati So eun dengan perlahan. Dilepaskannya kemeja milik sang adik yang sedari tadi melekat di tubuhnya, dan hanya menyisakan sebuah kaos dalaman berwarna hitam tanpa lengan.
“Aku merindukanmu sayang..” Ucap Ki bum, sambil melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping milik So eun, sangat erat hingga So eun tidak bisa bergerak. Pelukan posesive.
“Kau semakin cantik jika sedang marah…” Sambung Ki bum sambil mengecup pucuk kepala So eun.
“Kita makan bersama oppa, aku akan memasakan makanan yang enak hari ini. Tunggu di ruang makan, aku akan segera menyusulmu nanti.” Perintah So eun, sambil berusaha melepas pelukan Ki bum. Dan Ki bum pun hanya bisa mengangguk sambil melangkahkan kakinya menuju ruang makan.
“Oppa..” Panggil So eun, ada jeda ketika gadis itu ingin bertanya pada sang suami. “Kemana…” dan ketika So eun akan melanjutkan kembali kalimatnya, suara sang suaminya sudah menginterupsinya untuk berhenti, dengan kalimat yang keluar dari mulut Ki bum.
“Kim bum sudah tidak tinggal di sini lagi.” seketika saat itu juga tubuh So eun seperti kaku. Kenapa Kim bum pergi, terlebih tidak memberitahukan hal ini pada So eun. Ah, kenapa ada perasaan kehilangan dihati So eun ketika suaminya itu memberitahukan bahwa adik iparnya sudah tidak tinggal serumah dengannya lagi.
“Ada apa? Kau sedih Kim bum pergi?” Degup jantung So eun seperti berhenti berdetak saat ini juga. Kakinya pun rasanya sudah sangat lemah untuk hanya sekedar berpijak di tempatnya. Pertanyaan Ki bum mampu menghentikan nafasnya dalam beberapa detik.
“Apa maksudmu oppa? Kau aneh!” Bukan jawaban yang diberikan So eun atas pertanyaan suaminya. Wanita itu tidak tau apa yang harus dijawabnya sehingga lebih memilih untuk bertanya balik pada sang suami.
Ki bum tersenyum tipis, ada perasaan terluka dibalik sorot mata kelamnya yang tentu saja tidak diketahui oleh sang istri. “Cepatlah siapkan makanan untukku sayang. Aku sudah sangat lapar.” Perintah Ki bum, dan berlalu meninggalkan sang istri yang tampak lega ketika ditinggal sang suami. So eun seperti terbebas dari suatu jerat kesalahan ketika berada di dekat Ki bum.
~~~
Hari ini sudah hampir satu minggu sejak kepergian Kim bum dari rumah. Rasa kehilangan benar – benar menyelimuti hati So eun. Tapi perasaan sedikit lega juga menyelimuti hatinya. Dengan kepergian Kim bum dari rumah dan tanpa memberitahukannya pada So eun tentu saja itu akan membuat So eun lebih mudah melupakan semua kejadian yang sudah dilaluinya bersama dengan adik iparnya tersebut
So eun menghela nafas panjang, disekanya keringat yang membasahi keningnya. hari sudah siang dan sang suami masih betah berada di dalam kamarnya. Apa yang sedang dilakukan Ki bum sekarang, fikir So eun. Sejak sepulangnya So eun dari berbelanja wanita itu masih belum mendapati sosok sang suami menyapa dirinya.
Kim bum melangkahkan kakinya menuju tempat penyimpanan alat – alat yang akan digunakannya untuk membersihkan rumah. Entah kenapa wanita itu lebih memilih membersihkan rumah terlebih daulu dibandingkan dengan memastikan keadaan sang suami.
Tidak butuh waktu lama untuk So eun membersihkan rumah, dihempaskannya tubuh lelah itu diatas sofa panjang yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Semilir angin yang masuk melalui jendela mampu membuat So eun merasakan kesejukan yang luar biasa nyamannya. Perasaan yang seharusnya dihindari oleh So eun kembali lagi ketika bayangan Kim bum menghantui fikirannya.
So eun merindukan Kim bum, entah kenapa rasa rindu itu terlalu besar sehingga So eun tidak mampu mengenyahkannya. Bahkan perasaan rindu ini mampu membuat So eun mengabaikan sang suami yang sejak tadi masih belum dilihatnya.
“Tidak bisakah kau pergi dari fikiranku.” Batin So eun, sambil menyentuh dadanya yang terasa sesak. So eun harus segera mengenyahkan semua fikiran yang berisi tentang Kim bum. So eun tidak boleh memikirkan pria itu lagi.
So eun bangkit dari tempat duduknya, perasaan bersalah menghantui sisi lainnya. Bukankah seharusnya So eun menghampiri suaminya, jangan – jangan saat ini suaminya itu sedang membutuhkan bantuannya. Sudah seharusnya So eun ada disisi Ki bum untuk saat ini dan bukannya malah memikirkan pria lain, terlebih pria itu adalah adik iparnya.
So eun segera beranjak dari tempatnya, wanita itu segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Tentu saja memastikan apa yang saat ini tengah dilakukan oleh sang suami. Sejak bangun dari tidurnya pagi ini So eun sudah mengabaikan suaminya, bagaimana jika nanti Ki bum mulai curiga padanya. Tentu saja So eun tidak mau itu terjadi.
“Oppa… Kau sudah bangun?” So eun membuka pintu kamarnya dan melihat kearah tempat tidur yang saat ini sudah rapi. Tidak ada sang suami, yang ada hanya susunan bantal, guling dan juga selimut yang benar – benar sudah tidak tersentuh. Suaminya sudah bangun, sejak kapan? Lalu kemana Ki bum sekarang?
“Oppa…!” Seru So eun lagi, berharap suaminya itu masih berada di kamar ini.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi membuat So eun menghembuskan senyum lega dan jangan lupakan juga sebuah senyuman tipis yang mengembang dikedua sudut bibirnya. Sudah pasti saat ini suaminya itu sedang berada di dalam kamar mandi.
“Oppa… Kau di dalam kan?” Panggil So eun, ketika saat ini dirinya sudah berdiri di depan pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurnya. Tidak ada jawaban dari dalam kamar mandi, So eun jadi cemas akan apa yang saat ini Ki bum lakukan di dalam kamar mandi. Jika suaminya itu memang hanya mandi kenapa tidak menjawab seruan So eun.
“Oppa.. Apa yang sedang kau lakukan?” Ulang wanita itu lagi, semakin penasaran dengan apa yang dilakukan oleh sang suami saat ini. Rasa penasaran yang sangat luar biasa tengah menggelayuti fikiran So eun. Apa terjadi sesuatu dengan Ki bum di dalam sana, kenapa tidak ada jawaban. Jangan – jangan Ki bum jatuh kelantai dan pingsan.
“Oppa kau tidak apa – apa kan?” Teriak So eun, sambil mendorong pintu kamar mandi yang kebetulan tidak terkunci. Dan ketika pintu itu terbuka, So eun bisa melihat dengan jelas apa yang saat ini suaminya lakukan. Tidak terjadi apa – apa dengan Ki bum. Pria itu hanya berendam di bak mandi.
“Ada apa?” Tanya Ki bum, terdengar santai di telinga So eun. Wanita itu menghela nafas, ada perasaan kesal di hatinya ketika mendengar respon sang suami yang terlihat biasa saja. Apa saat ini Ki bum tidak bisa melihat raut muka So eun yang benar – benar terlihat cemas. Keterlaluan sekali suaminya ini.
“Bisakah aku minta tolong padamu Kim so eun?”
“Oppa ingin aku melakukan apa?”
“Bisa aku memintamu menggosokkan punggungku, aku kesulitan melakukannya.” Pinta Ki bum. Entah kenapa So eun merasa ada yang aneh dengan suaminya saat ini. Tapi So eun segera menepis perasaan itu, tentu saja wanita ini tidak ingin membuat sang suami menunggunya terlalu lama atau mengira So eun tidak mau memenuhi permintaan sang suami.
“Biasanya kau tidak pernah mau merepotkanku, oppa? Hari ini kau terlihat manja sekali.” Ucap So eun, sambil mendudukkan tubuhnya di atas bak mandi dan mulai menggosok punggung Ki bum dengan penggosok badan.
“Aku merindukanmu, benar – benar sangat merindukanmu.” Balas Ki bum, pria itu benar – benar menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh sang istri.
“Aku juga sangat merindukanmu oppa.”
“Siapa yang kau rindukan? Apa kau benar – benar merindukanku? Jadi kau benar – benar merindukanku!”
So eun menghentikan aktifitasnya, suaminya ini benar – benar sangat lucu. Tentu saja So eun merindukan suaminya, mengingat betapa lamanya So eun menunggu Ki bum dari tidur panjangnya. Tidak ada lagi rasa rindu di hati So eun saat ini kecuali Ki bum suaminya. Tapi tunggu dulu, bukankah beberapa saat yang lalu isi di kepala So eun itu hanya ada nama Kim bum, bahkan So eun sempat mengabaikan suaminya itu hanya gara – gara memikirkan adik iparnya. Astaga tentu saja rasa bersalah yang teramat besar kembali menyelimuti hati So eun. Kenapa suaminya ini seolah – olah tidak sengaja mengorek kesalahannya. Apa suaminya ini tau apa yang pernah So eun lakukan dengan Kim bum. Bagaimana jika memang Ki bum mengetahuinya, apa yang harus So eun lakukan saat ini. Tentu saja tidak akan mungkin untuk So eun mengatakan semuanya pada Ki bum.
“Apa yang sedang kau pikirkan, kau tidak benar – benar merindukanku?” Pertanyaan dari Ki bum ini kembali menusuk jantung So eun. Benar – benar seperti ditikam pisau dari belakang. Rasanya benar – benar sakit, bahkan So eun benar – benar tidak bisa mengeluarkan satu katapun untuk menjawab pertanyaan Ki bum saat ini.
Gadis itu hendak beranjak dari tempatnya, tentu saja ingin menghindari pertanyaan suaminya yang terasa mematikan saraf So eun saat ini. Mungkin menghindar adalah satu – satunya hal yang tepat untuk menghindari sang suami. So eun masih belum punya kekuatan untuk mengakui semua kesalahan yang telah diperbuatnya pada Ki bum.
“Jangan pergi.. Kumohon.” Lirih Ki bum, ketika menyadari sang istri hendak meninggalkannya. Secepat mungkin Ki bum menghentikan pergerakan sang istri dengan memeluk pinggang ramping wanita itu.
“Aku mencintaimu… Benar – benar mencintaimu.” Suara serak dari Ki bum membuat So eun semakin merasa bersalah. Tapi perasaan ini berbeda. So eun benar – benar merindukan pelukan ini. Bukan seperti pelukan suaminya, ini terasa lebih hangat dan bisa langsung menyentuh hatinya.
“Maafkan aku oppa… Maafkan aku.” Ucap So eun, mencoba menenangkan gejolak jiwanya yang entah sejak kapan mulai membuatnya merasakan sakit yang benar – benar luar biasa.
“Maafkan aku oppa, karena aku merindukan pria lain.” Imbuh So eun dalam batinnya.
Ki bum membalikkan tubuh sang istri, ditelitinya wajah cantik So eun saat ini. Benar – benar cantik, dulu hingga sekarang So eun memang wanita yang benar – benar cantik di mata Ki bum. Tentu saja akan sangat menyesal bagi semua pria yang menjadi pendampingnya dan tidak bisa mempertahankan gadis ini untuk selalu berada disisinya.
Ki bum menarik tubuh sang istri untuk memasuki bak mandi yang sama dengannya. Bak mandi itu cukup besar untuk menampung hingga 4 orang di dalamnya, jadi Ki bum tidak akan khawatir akan membuat istrinya merasa tidak nyaman di dalam bak mandi itu bersama dengannya.
Dielusnya pipi putih sang istri, Ki bum benar – benar sangat berterima kasih pada sang pencipta karena sudah menciptakan sosok yang cantik seperti So eun. Terlebih wanita ini benar – benar nyata dan saat ini tengah berada di depannya dalam rengkuhannya. Dipandanginya setiap inci dan detail wajah So eun, benar – benar terlihat menggoda di mata Ki bum.
Jari jemari Ki bum masih sibuk meneiti setiap inci wajah So eun, sedangkan wanita itu hanya bisa menerima setiap perlakuan dari sang suami. So eun bahkan tidak menolak ketika jemari kokoh itu mulai meraba bibir ranumnya. Begitu pula ketika dengan tiba – tiba sebuah benda basah menyentuh permukaan kulit bibirnya. So eun benar – benar tidak bisa menghindar dari ciuman hangat yang diberikan oleh suaminya saat ini. Lagi – lagi So eun merasakan keanehan, bukan pada sang suami melainkan pada dirinya sendiri. Jika sebelumnya So eun menolak sentuhan dari sang suami kali ini So eun benar – benar menikmatinya. Bahkan sentuhan yang diberikan oleh Ki bum mengingatkan So eun akan sentuhan yang pernah diberikan oleh Kim bum. Oh.. tidak lagi, kenapa disaat seperti ini nama Kim bum kembali muncul di dalam kepala So eun. Lagi.
“Op-pa..” panggil So eun, ketika tanpa diduga oleh akal sehatnya Kim bum menyentuh daerah sensitifnya. Suaminya itu meletakkan telapak tangan kanannya pada payudara sebelah kiri milik So eun, sedangkan tangan kiri Ki bum merengkuh tubuh sang istri.
“Jangan menolakku Kim so eun, aku benar – benar sangat merindukan sentuhanmu.” Pinta Ki bum, pria itu bahkan semakin lincah memainkan telapak tangannya di payudara yang berukuran besar itu. Ki bum benar – benar menikmati aktifitasnya, sedangkan So eun sudah pasti wanita itu tidak bisa menolaknya. Tidak ada yang salah dengan sikap Ki bum, bukankah mereka ini sepasang suami istri jadi sudah pasti tidak ada yang salah akan hal ini.
Ki bum semakin menikmati aktifitasnya, tangan pria itu semakin lincah memainkan kedua payudara sang istri. Dengan kedua tangan yang masih asyik dengan aksinya di kedua payudara milik So eun, Ki bum pun juga tidak ingin melewatkan bibir merona milik sang istri. Dikecupnya bibir itu berkali – kali, tentu saja dengan tempo yang cepat. Pria itu bahkan tidak mempedulikan setiap erangan yang berkali – kali telah keluar dari mulut sang istri atas perlakuannya.
“Maafkan aku… Kumohon jangan membenciku.” Batin Ki bum, disela – sela aktifitas yang membuat tubuhnya membara. Entah kenapa Ki bum bisa menggumamkan kata maaf ketika menyentuh tubuh sang istri, sedangkan hal itu sudah seharusnya dilakukan oleh pasangan yang sudah terikat dalam pernikahan.
Pergulatan panjang antara Ki bum dan So eun pun sudah selesai, ketika sebuah interupsi dari Ki bum yang menyuruh So eun untuk segera mengganti segera pakaian wanita itu yang benar – benar sudah basah akibat ulah Ki bum. So eun segera menuruti permintaan sang suami. Wanita itu segera beranjak dari dalam bak mandi dan segera melepaskan semua pakaiannya untuk menggantinya dengan baju handuk yang akan membalut tubuhnya.
“Cepatlah keluar dari tempat itu, jika kau tidak ingin masuk angin Kim bum-ssi!” Perintah So eun, pada pria yang sekarang masih betah berendam didalam bak mandi itu.
“Kupikir kau tidak akan menyadarinya So eun-ssi!”
Deg.. So eun menyadari kesalahannya. Lagi. gadis itu merutuki dirinya yang dengan gampangnya menyebutkan nama Kim bum dan bukannya Ki bum. Dan terlebih sambutan dari pria yang sedari tadi tengah membuai dirinya. Panggilan itu, suara itu. Jangan lupakan juga sentuhan yang baru saja didapatkan So eun dari laki – laki yang entah sejak kapan sudah berada dibelakangnya dan saat ini sedang melingkarkan kedua tangannya pada pinggang So eun.
“Kau…”
“Hm.. Kupikir kau tidak akan menyadarinya.”
Seluruh sendi di dalam tubuh So eun seperti tidak berfungsi dengan baik ketika wanita itu menyadari siapa pria yang saat ini tengah memeluk tubuhnya dan memberikan sentuhan – sentuhan lembut padanya beberapa saat yang lalu. So eun bisa memastikan bahwa saat ini tubuhnya akan langsung merosot kelantai jika saja pria yang ada di belakangnya itu tidak sigap menahannya.
“Bagaimana bisa kau langsung mengenaliku So eun-ssi, apa karena ini kau mengenaliku?” pria yang saat ini masih setia memeluk tubuh So eun itu mengulurkan tangan kirinya dan mengacungkan telapak tangannya dihadapan mata So eun. Dan saat itu juga So eun benar – benar melebarkan pandangannya pada telapak tangan pria tersebut. Lebih tepatnya jari pria tersebut, di jari itu tersemat sebuah cincin berwarna silver yang entah bagaimana bisa melingkar manis di jemari kokoh itu.
“Dia tidak akan bisa memakainya, jadi aku yang menggantikannya memakai benda ini. Bagaimana menurutmu, bukankah benda ini sangat pas dijariku?”
So eun segera mendongakkan kepalanya, mencoba meneliti apakah benar pria yang saat ini berada di dekatnya ini adalah orang yang saat ini dirindukannya dan bukannya suaminya. Jika benar terkutuk sekali So eun karena lagi – lagi, gadis ini menghianati suaminya. Terlebih dengan santainya So eun menikmati setiap perlakuan yang sudah diberikan pria ini padanya. Jangan lupakan juga bagaimana dengan mudahnya So eun menggumamkan nama pria itu ketika dirinya masih menyangka bahwa pria yang saat ini didekatnya itu adalah suaminya. Keterlaluan sekali So eun. Apakah wanita ini benar – benar tidak bisa membedakannya sejak pertama kali, dan lagi siapa yang sebenarnya ada di hatinya saat ini.
Bahkan tanpa melihat cincin yang tersemat di jari pria itu pun, So eun sudah merasakan bahwa pria yang telah menyentuhnya itu adalah Kim bum dan bukannya Ki bum. Terlebih ketika cincin itu dengan asyiknya mendiami jari pria itu, bagaimana bisa dan sejak kapan cincin itu berada di jari yang tidak semestinya.
“Aku kemari hanya untuk mengembalikan benda ini, aku tidak bermaksud untuk mengambilnya. Adapun sesuatu yang ingin kuambil sekarang itu adalah kau, So eun-ssi.”
“Ba-bagaimana b-bisa kau a-ada disini?”
“Kau tidak merindukanku? Kupikir ketika tadi kau mengatakan merindukanku itu benar – benar untukku… oh, aku hampir lupa kau mengira aku ini suamimu. Seharusnya memang akulah yang berhak menjadi suamimu So eun-ssi.”
Saat ini juga, So eun benar – benar tidak mampu berucap. Kelancangan Kim bum yang dengan tiba – tiba memasuki rumahnya kembali setelah kepergiannya selama hampir satu minggu. Ditambah lagi kalimatnya yang terdengar seperti orang tak waras yang hendak menghancurkan rumah tangga kakak kandungnya sendiri. Apa pria ini sedang mabuk, jika memang benar bagaimana bisa. Sejenak So eun berfikir, sekarang bukan saatnya untuk So eun memikirkan hal – hal yang tidak terlalu penting. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya untuk membuat Kim bum pergi dari rumah ini, sebelum Ki bum datang dan mengetahui apa yang telah dilakukan oleh adik dan juga istrinya sekarang.
“Kau ingin aku pergi?” So eun mengangguk lemah ketika mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Kim bum saat ini. Pria itu seperti bisa membaca semua jalan fikiran So eun.
Kim bum yang masih setia memeluk So eun dari belakang, hanya bisa menyunggingkan senyum tipisnya. Kim bum makin mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping milik So eun. Tidak mempedulikan betapa gemetarnya tubuh So eun yang saat ini berada dalam rengkuhannya. Pria itu mengecup pucuk kepala So eun, seperti tidak rela melepas wanita yang benar – benar diraihnya ini.
“Kau tidak perlu khawatir akan kedatangan kakakku, akan kupastikan sebelum dia datang aku pasti akan meninggalkan tempat ini. Kau tidak perlu khawatir.” Kalimat itu berusaha menenangkan hati So eun, tapi tetap saja ketakutan gadis itu masih kentara jelas di wajahnya.
“Bagaimana bisa kau ada disini Kim bum-ssi?” Lirih So eun, benar – benar hampir tidak terdengar oleh indera pendengar Kim bum.
“Akhirnya kau menyebut namaku lagi, kupikir telingaku tidak akan bisa mendengar suaramu lagi untuk menyerukan namaku.”
“Kumohon Kim bum-ssi, jangan seperti ini!”
Kim bum menghembuskan nafasnya dengan berat, sangat berat dan terasa dipaksakan. Hingga So eun pun dibuat bergidik ketika hembusan nafas itu mampu menyentuh lehernya. Kim bum seperti sedang menahan sebuah batu yang sangat besar dipunggungnya. Dari deruman nafas lelah itu, bisa So eun pastikan bahwa kondisi Kim bum saat ini tidak dalam keadaan baik.
“Ini yang terakhir kalinya, setelah ini aku tidak akan pernah mengganggu hubungan kalian. Aku hanya ingin menyelesaikan sebuah potongan kisah kasihku yang masih terombang – ambing.” Jelas Kim bum.
“Maaf jika kau merasa terganggu dengan kehadiranku, mungkin semua ini tidak akan terjadi jika aku tidak kembali lagi kesini.” Sambung Kim bum. Pria itu menguarkan pagutan tangannya yang sedari tadi masih setia melingkari pinggang So eun.
“Aku akan kembali ke Jepang. Kuharap dengan menjauh dari dunia kalian aku akan bisa melupakan sesuatu yang selama ini benar – benar ingin sekali kugapai.” Sekarang Kim bum benar – benar melepaskan tubuh So eun dari rengkuhannya. Pria itu sibuk mengenakan kembali pakaiannya dan masih memandangi So eun yang tetap tak bergeming dari posisi yang membelakangi tubuh pria tersebut.
“Kau akan pergi.”
“Hm.” Kim bum berjalan melewati tubuh So eun, pria itu benar – benar akan mencapai pintu kamar mandi, bahkan tangan kanannya sudah menyentuh gagang pintu. Hanya butuh beberapa detik lagi untuk Kim bum keluar dari tempat itu. Tapi langkah itu harus tertahan oleh kalimat So eun.
“Kenapa kau melakukan semua ini? kenapa kau membuatku menjadi seperti ini?” Suara itu bergetar, benar – benar terdengar memilukan ketika ditangkap oleh telinga Kim bum. Ingin rasanya pria itu membalikkan badannya dan kembali membawa wanitanya kedalam rengkuhan hangatnya. Tapi tentu saja Kim bum tidak akan bisa melakukan hal itu lagi, akan terlalu lancang bagi Kim bum jika harus kembali memeluk So eun. Sudah cukup untuk semuanya, bukankah Kim bum sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai detik ini dirinya tidak akan menyulitkan orang yang dikasihinya.
“Kenapa kau sangat kejam padaku, tidakkah selama ini kau mengerti bagaimana rasanya jadi aku Kim bum-ssi!” tangis itu pecah, karena sang pemilik air mata tidak bisa mengendalikan cairan bening yang saat ini benar – benar meleleh keluar dari kelopak matanya. Wanita itu butuh penjelasan, hanya sebuah alasan sehingga adik iparnya ini mampu memporak – porandakan seluruh jiwanya hingga benar – benar berantakan. So eun ingin tau, apa alasan Kim bum hingga pria itu bisa menyentuh titik sensitif dalam batinnya. Bahkan yang tidak pernah bisa dilakukan oleh suaminya sendiri.
“Aku akan menjelaskan semuanya padamu, jika suatu saat nanti Tuhan masih merestui kita untuk bertemu. Terimakasih sudah mengijinkanku menyelami dalamnya hatimu.” Beberapa tetes kristal bening terjun bebas dari mata kelam milik Kim bum, pria ini juga menangis sama seperti So eun. Akhirnya dia akan melepaskan semua cintanya pada So eun. Apapun yang terjadi pria ini, memang akan selalu menjadi yang kalah. Sampai kapanpun dan akhirnya dia harus bisa untuk merelakan semuanya. Termasuk kebahagiaan dan juga wanita yang dicintainya.
“Aku mencintaimu Kim So eun.” Batin Kim bum, dan pria itu dengan mantapnya melangkahkan kaki keluar dari ruangan tersebut. Tentu saja meninggalkan So eun yang semakin menggila dengan tangisnya. Entahlah, kenapa So eun benar – benar histeris ketika melihat Kim bum meninggalkannya. Ada perasaan tidak rela pada hati wanita itu. Jadi sebenarnya bagaimana perasaan So eun saat ini. Ah, salah. Yang benar untuk siapa hatinya tertambat saat ini.
Raungan tangis dari So eun benar – benar terasa mencekam hati Kim bum yang ternyata masih berada diluar kamar kakaknya tersebut. Disini, ditempat ini Kim bum harus merelakan semuanya. Tubuh itu limbung, dan dengan sigap Kim bum menyandarkan tubuhnya pada dinding sebelum tubuhnya jatuh kelantai. Dipandanginya jari tangannya. Tidak ada sesuatu dijari itu karena cincin yang beberapa saat lalu tengah melingkar di jarinya sudah pria itu kembalikan ke tempat asalnya.
“Maafkan aku..” Gumam Kim bum, dengan langkah sempoyongan pria itu akhirnya meninggalkan So eun dan juga rumah yang sudah memberikan banyak kenangan untuknya. Terlebih pria itu juga harus pergi meninggalkan lagi Ki bum – sang kembaran.
~~~
“Kau masih mencintaiku?” Suara berat itu kembali mengudara, ada semburat ketidak pahaman dari raut wajah tampan itu. Bagaimana bisa wanita yang ada dihadapannya ini masih mengaku mencintainya, setelah apa yang sudah dijelaskan oleh pria yang saat ini tengah duduk disebuah cafetaria yang tidak terlalu ramai pengunjung. Tentu saja bersama wanita yang tadi mengatakan masih mencintai pria ini. Sepertinya wanita itu sudah gila, benar – benar tidak waras mungkin.
“Aku bukan pria yang menolongmu, dan kau masih mencintaiku?” pertanyaan itu kembali keluar dari mulut si pria. Ada perasaan kesal ketika pria itu mengatakannya.
“Saya bukan gadis belia yang masih belum paham apa makna cinta sesungguhnya. Saya ini wanita yang sudah matang, dan tau mana cinta yang benar dan mana cinta yang salah.” Jelas wanita itu dengan nada bicara yang sangat anggun.
“Saya tidak pernah berniat menghancurkan hubungan anda dengan istri anda. Anda fikir selama ini saya salah menujukan perasaan saya pada orang. Mungkin awalnya memang benar, tapi saya sudah mengetahui semuanya jauh sebelum anda mengatakan semuanya saat ini.”
“Jika kau sudah mengetahuinya, lalu kenapa kau masih bisa mengatakan bahwa kau mencintaiku. Bukankah sejak awal pria yang kau sukai itu adalah pria lain.”
Wanita itu tersenyum mendengar kalimat yang terlontar dari mulut pria yang ada dihadapannya saat ini. Aneh memang, tapi bagaimana bisa pria ini memaksa si wanita untuk menyukai pria lain sedangkan orang yang jelas – jelas disukainya itu adalah pria yang saat ini berada dihadapannya.
Walaupun terdengar gila dan aneh, tetap saja perasaan tidak bisa berubah. Tidak akan ada yang bisa merubah keinginan orang lain kecuali orang itu sendiri. Wanita itu sadar akan perasaan terlarang yang dimilikinya untuk pria itu. Mencintai suami orang tentu saja itu hal yang sangat – sangat tidak diperbolehkan. Tapi apa salahnya, toh selama ini dia tidak pernah merusak rumah tangga orang yang disukainya, wanita itu hanya mencintai pria yang ada dihadapinya dengan cara yang sehat. Memendam perasaannya sendiri dalam hatinya. Meskipun hal itu melukai wanita itu sendiri.
“Anda seperti orang yang sedang ketakutan, jika dia mencintai anda kenapa anda harus takut. Bukankah kasusnya juga sama seperti yang menimpa saya. Dan bukankah jawabannya masih sama. Saya mencintai anda karena saya merasa cinta saya tertuju pada orang yang benar.”
Pria itu mencerna kata – demi kata yang keluar dari mulut wanita yang mengaku masih mencintainya itu. Ya, kenapa pria ini harus takut bukankah kasusnya sama dan jawabannya sama. Wanita ini benar seharusnya pria ini tidak perlu takut jika dirinya merasa yakin bahwa sesuatu yang menjadi miliknya tentu saja akan selalu menjadi miliknya jika semua itu benar – benar tertuju pada orang yang tepat.
“Anda tidak bisa memaksakan kehendak dan juga keinginan anda pada orang lain. Tentu saja orang itu tidak akan melakukan semua keinginan anda jika itu bertentangan dengan hatinya. Dalam kasus istri anda, sepertinya anda benar – benar takut jika jawabannya berbeda.”
Pria itu semakin terlempar kuat kedalam ilusi yang diciptakannya sendiri. Semua kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu masih belum bisa dibalasnya. Ada perasaan takut yang sangat besar tengah mendera hatinya. Bagaimana jika yang diucapkan wanita ini benar, bagaimana jika kasus serupa ini memiliki penyelesaian berbeda. Haruskah pria ini merelakan istrinya pergi dari sisinya. Sial, tentu saja itu tidak diinginkan oleh hatinya. Lalu apa harus mengorbankan orang – orang yang dikasihinya.
“Sepertinya anda juga harus mengungkapkan semua ini padanya, sebelum orang lain yang mendahului anda.”
Kalimat itu bagaikan pukulan telak yang mampu menghujam ulu hati pria itu. Ya, seharusnya sejak awal pria itu memberitahukan semuanya pada sang istri dan bukannya malah menyembunyikan kebenarannya. Terlebih membuang adiknya kandungnya. Betapa keterlaluannya pria itu. Bagaimana jika nanti sang adik mengatakan semua kebenaranya pada istrinya dan semua ketakutan yang melanda hatinya akan terbukti, apa pria ini masih bisa mengatur nafasnya kembali dengan normal. Tanpa istri dan juga adiknya, hanya sendiri dan kembali merasakan kehampaan.
“Anda tidak akan sendiri, karena saya masih akan tetap ada disamping anda jika sesuatu yang buruk itu terjadi.”
“Apa maksudmu Yoona-ssi?” Pertanyaan Retorik, haruskah pria ini mengajukan pertanyaan seperti itu pada wanita yang saat ini ada dihadapannya. Bukankah pria itu sudah tau apa jawaban dari pertanyaan yang saat ini tengah diajukannya.
“Anda tidak perlu khawatir, semuanya akan baik – baik saja. Semua jawaban ada di tangan anda. Ingin lari, mendapatkan hasil menyenangkan tapi tidak bertahan lama atau melangkah maju walaupun berat tapi melegakan. Semuanya tergantung pada diri anda.” Wanita bernama Yoona itu betul – betul menyudutkan pria yang ada di hadapannya.
“Jadi aku harus melakukan salah satunya!”
“Sepertinya saya harus meninggalkan anda, agar anda bisa berfikir dengan matang. Maaf jika saya sudah terlalu banyak bicara Ki bum-ssi.” Yoona bangkit dari tempat duduknya dan membungkukkan badannya pada pria yang tak lain adalah Ki bum. Dengan senyum tulus yang mengambang di wajah cantiknya wanita itu melenggangkan kakinya meninggalkan Ki bum yang masih dalam kekalutan.
Ya, bagaimanapun semua kekacauan ini harus diselesaikan jika tidak ingin ada yang terluka. Sudah ada satu korban dan tentu saja Ki bum tidak ingin ada korban lagi. jika sebelumnya dengan kejamnya Ki bum mengorbankan adiknya apakah sekarang Ki bum juga akan mengorbankan istrinya. Pria itu masih bimbang akan keputusan yang harus dipilihnya. Maju kehilangan, mundur juga kehilangan bukankah serba salah jika sudah seperti ini.
“Brengsek..” Rutuknya dalam hati, Ki bum menggenggam erat gelas yang terletak didepannya. Jika saja ini bukan di tempat umum sudah pasti Ki bum akan mengeluarkan semua kemarahannya ini.
Harus ada yang kalah, bukan mengalah. Seharusnya sejak awal dua kembar ini mengetahui aturan sebuah peperangan. Tidak ada istilah seri. Jika kalah ya mati, menang berarti hidup. Pertarungan ini masih belum selesai, masih ada waktu untuk mengetahui siapa pemenangnya. Terlepas dari kata mengalah.
NB: buat para readers yang sudah setia menunggu kelanjutan fanfic ini, aku benar – benar ucapkan terimakasih. Sekali lagi mau kasih tau buat para readers yang sudah baca fanfic ini, cerita ini memang terinspirasi dari sebuah film korea dengan judul yang sama. Tapi dalam cerita di fanfic ini aku sengaja merubah ceritanya sesuai dengan imajinasiku, tapi tidak bermaksud merusak cerita aslinya. Untuk para readers yang kurang berkenan dengan ceritanya aku mohon maaf.