Part 8
–
–
–
“Ini yang terakhir kalinya, setelah ini aku tidak akan pernah mengganggu hubungan kalian. Aku hanya ingin menyelesaikan sebuah potongan kisah kasihku yang masih terombang – ambing.”
Kalimat itu kembali memenuhi kepala So eun saat ini. Wanita itu bahkan tidan bisa fokus dengan pekerjaannya. Dipejamkannya kedua matanya dengan erat, berusaha untuk mengenyahkan semua yang berhubungan dengan Kim bum di kepalanya. Tidak akan ada lagi nama Kim bum dalam hatinya yang ada hanyalah Ki bum – suaminya. Tidak akan pernah ada lagi yang lain. Setidaknya itulah tekad So eun beberapa hari yang lalu, ketika Kim bum mengatakan pada So eun bahwa pria itu akan pergi meninggalkan Seoul.
So eun masih berusaha mengenyahkan bayang – bayang Kim bum dari otaknya, walaupun sulit dan enggan tapi So eun tetap berusaha mengenyahkan perasaan terlarangnya pada sang ipar. Jika beberapa hari yang lalu So eun sudah memantapkan hatinya dan berjanji untuk melupakan semua kejadian yang berhubungan dengan pria itu, untuk hari ini So eun seperti mengingkari janjinya sendiri. Wanita itu bahkan tidak bisa menghapus nama Kim bum dari memori ingatannya. Bahkan nama Kim bum seperti tercetak jelas di dalam kepala So eun saat ini.
“Bahkan setiap kali mata ini berkedip, hanya ada senyummu di dalam benakku. Kau membuatku gila untuk.” Batin So eun. Wanita itu menyandarkan tubuh lunglainya pada sandaran kursi.
Kepala itu bisa pecah dalam sekejap jika isi di dalamnya hanya dipenuhi dengan satu nama manusia yang benar – benar membuatnya tidak bisa terlelap dengan nyaman. Diraihnya ponsel berwarna hitam yang tergeletak di meja yang ada di depannya saat ini. di cari daftar kontak yang akan dihubunginya. Sayangnya So eun tidak seberani kelihatannya, wanita itu bahkan hanya bisa memandangi daftar kontak itu tanpa berani menghubungi daftar kontak tersebut.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Suara itu menyadarkan So eun dari kekalutan hatinya. Lagi – lagi So eun mengabaikan pria yang jelas – jelas ada di dekatnya dan lebih memikirkan pria yang bahkan membuatnya hampir gila. Dengan cepat So eun meletakkan ponselnya dan mengadahkan wajahnya kepada sang suami yang saat ini berdiri disamping tempatnya duduk.
“Kau terlihat tidak sehat. Istirahatlah!” Sambung Ki bum. Sambil mematikan laptop So eun yang sedari tadi masih menyala tapi tidak dihiraukan oleh sang istri.
“Apa hari ini kau membutuhkan bantuanku oppa?”
“Hm?” Ki bum bingung dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut So eun. Aneh rasanya jika mendengar sang istri bertanya hal yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab wanita tersebut setiap hari. bukankah memang sudah sewajarnya So eun membantunya setiap hari jika sang suami memerlukannya.
“Maaf oppa! Hari ini aku ingin pergi sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku selesaikan.”
Kening Ki bum berkerut, lagi – lagi istrinya ini bersikap aneh. “Kau mau kutemani?” ada perasaan takut dalam hati Ki bum setiap kata – kata yang keluar dari mulut So eun. Ki bum tidak bodoh, pria itu sadar apa yang saat ini sedang difikirkan oleh istrinya.
“Aku bisa pergi sendiri oppa. Jangan menungguku jika aku pulang terlambat oppa!” So eun segera beranjak dari tempatnya dan melangkahkan kakinya perlahan menjauh dari sang suami. Niat ini memang salah, karena So eun sudah berani membohongi suaminya. Tapi bagaimanapun semua ini harus diselesaikannya tanpa meninggalkan luka. Tentu saja So eun tidak ingin membohongi Ki bum lebih lama lagi. Jika memang Kim bum akan pergi meninggalkannya setidaknya So eun harus mengucapkan selamat tinggal pada pria itu karena selama ini tanpa Kim bum mungkin So eun tidak akan mampu bertahan.
“Aku pergi oppa!” Ujar So eun, tepat saat gadis itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Ki bum yang hanya bisa mematung. Pria itu seperti kehilangan kesadarannya untuk beberapa saat.
“Inikah saatnya untukku melepaskanmu Kim so eun.” Gumam Ki bum. Diusapnya wajah bersih tersebut dengan kedua tangannya untuk menghilangkan keresahannya.
Dengan tubuh lunglai Ki bum mendudukkan tubuhnya dikursi tempat tadi So eun berada. Wajahnya mengamati setiap benda yang ada di atas meja yang saat ini berada di hadapannya. Ki bum mendapati sebuah ponsel berwarna hitam yang tergeletak diatas meja. Ki bum sudah tau jika itu ponsel milik sang istri, jadi pria itu segera mengambil benda berwarna hitam tersebut dan dinyalakannya benda itu. Ketika lampu layar ponsel itu menyala, mata Ki bum langsung menajam. Walaupun pria itu tidak terlalu kaget dengan apa yang dilihatnya tetap saja, rasa kecewa itu menyelimuti hatinya.
“Aku tidak yakin dengan semua ini.” Batin Ki bum.
***
Kim bum sudah selesai memesan tiket pesawat untuk kepergiannya kembali ke Jepang lusa. Mungkin memang sekarang lah waktu yang tepat untuk melepaskan semuanya. Kim bum bukan lagi pria muda yang berusia belasan tahun, yang masih akan menggebu dalam urusan percintaan. Usianya sudah 28 tahun, sudah tidak pantas lagi Kim bum menangisi hal – hal yang dianggapnya hanya pantas dilakukan oleh anak – anak SMA. Jika memang takdir tidak membiarkan dirinya mendapat cinta dari kakak iparnya, Kim bum rela asalkan So eun tetap bahagia bersama dengan sang kakak. Mungkin memang hanya kakaknya lah yang pantas untuk So eun.
“Aku merindukanmu.” Batin Kim bum.
Pria itu mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi berada disaku celananya. Niatan untuk kembali menghubungi So eun kembali mengganggu fikirannya. Akal sehatnya benar – benar sudah tidak bisa diajak bekerja sama. Kim bum bahkan masih berharap takdir akan membuatnya bersatu dengan So eun, padahal sudah jelas bahwa itu akan sangat sulit terjadi.
Kim bum mengurungkan niatnya. Tidak lagi. Sudah cukup untuk Kim bum mengganggu hubungan rumah tangga sang kakak, masih kurang puaskah Kim bum menghancurkan kebahagiaan sang kakak hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukankah terdengar egois jika Kim bum masih berniat menghubungi kakak iparnya.
Seulas senyum mengembang di wajah tampan Kim bum. Pria itu memasukkan kembali ponsel miliknya kedalam saku. Di enyahkannya niatan untuk menghubungi So eun. Akan lebih menyakitkan jika nanti Kim bum mendengar suara So eun. Pasti Kim bum akan semakin sulit melupakan bayang – bayang So eun. Kim bum memandang lekat tiket pesawat yang saat ini sudah berada dalam genggamannya. Senyum getir itu mengembang di sudut bibirnya. Akan lebih baik jika Kim bum menyiapkan semuanya hari ini. Pria itu segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke apartemennya. Setidaknya hari ini Kim bum akan benar – benar menyiapkan badannya untuk jadwal penerbangannya ke Jepang dua hari lagi.
***
Kegugupan melanda So eun. Wanita itu masih berdiri di depan pintu apartemen lamanya. Sudah sangat lama sekali So eun tidak mengunjungi tempat ini, dan hari ini karena adik iparnya itu, So eun harus kembali menginjakkan tempat yang dulu pernah ditinggalinya. Tangan itu mengambang di udara, berusaha untuk membunyikan bel apartemen tersebut. Tapi niatnya itu masih belum bisa dilakukannya mengingat dirinya masih belum bisa meyakinkan hatinya akan apa yang akan dikatakannya pada Kim bum, jika nantinya pria itu membukakan pintu untuknya.
“Apa yang kau lakukan di sini So eun-ssi?” Pertanyaan itu menghentikan tangan So eun yang sudah bersiap untuk menekan tombol yang tertempel di dinding, segera menghentikan niatnya dan mengarahkan pandangannya pada orang yang sedang menyapanya. So eun yakin jika suara itu adalah suara pria yang saat ini ingin ditemuinya.
“Kau membuatku terkejut So eun-ssi.” Kim bum melangkahkan kakinya mendekati So eun yang saat ini berdiri di depan pintu apartemennya. Kim bum mengeluarkan kunci apartemennya dan hendak membuka pintunya, ketika sebuah pelukan menggagalkan niatnya.
“Maafkan aku… Maafku aku Kim bum-ssi!” So eun mengeratkan pelukannya pada pinggang Kim bum. So eun bahkan tidak peduli dengan degup jantung Kim bum yang saat ini berdetak tidak karuan akan aksinya. So eun hanya ingin melepas semua kegundahan yang dia rasakan beberapa hari ini.
“Bisakah aku melepasmu mulai saat ini! So eun mengendurkan pelukannya pada pinggang Kim bum. Tapi detik berikutnya pria itu menahan tautan jemari So eun, agar tetap berada pada posisinya saat ini.
“Bisakah aku meminta agar kau tidak melepaskanku So eun-ssi?” Suara itu lirih, bahkan hampir tidak terdengar. Tapi tentu saja telinga So eun masih bisa mendengarnya. Dan So eun menyukai pertanyaan itu.
“Bisakah kau memberikanku alasan agar aku tidak melepasmu Kim bum-ssi. Aku hanya ingin tau apa alasanmu melarangku untuk melepaskanmu!.”
Kim bum membalikkan tubuhnya dan merengkuh So eun kedalam dekapan erat lengannya. Pria itu mengeratkan pelukannya pada tubuh So eun. Kim bum menitikkan air matanya ketika dirinya menyadari bahwa inilah saat terakhirnya bersama dengan So eun. Mungkin dengan seperti ini Kim bum benar – benar bisa melepas So eun.
“Aku mencintaimu So eun-ssi.” Gumam Kim bum, pria itu tidak berharap So eun mendengarnya. Tapi tetap saja Kim bum mengatakannya. “Aku menyukaimu sebelum kakakku bertemu denganmu.” batin Kim bum.
“Terimakasih untuk perasaanmu itu Kim bum-ssi.” Jawab So eun. So eun benar – benar merasa nyaman berada didalam pelukan Kim bum saat ini. Rasa hangat benar – benar menyelimuti tubuhnya. Bagaimanapun So eun tidak akan pernah lupa akan setiap sentuhan yang sudah diberikan Kim bum padanya. Sampai kapanpun So eun tidak akan pernah bisa melupakan hal tersebut.
Kim bum melepaskan pelukannya pada So eun. Senyum tidak lepas dari bibirnya, walaupun air matanya sudah tidak bisa lagi dibendungnya.So eun pun juga tersenyum ketika melihat senyum tulus Kim bum. Harus bagaimana lagi, hari ini So eun sudah berjanji pada diriya sendiri untuk menyelesaikan masalahnya dengan Kim bum. So eun tidak ingin egois, wanita ini tidak bisa memiliki keduanya walaupun sebenarnya ingin. So eun tidak ingin menyakiti salah satunya walaupun pada akhirnya memang akan ada hati yang tersakiti nantinya.
“Kita masuk kedalam!”
So eun menganggukkan kepalanya, dan mengikuti langkah kaki Kim bum yang sudah membukakan pintu untuknya. Apartemen ini masih sama, tidak ada yang berubah. Sepertinya Kim bum tidak merubah susunan benda yang ada di dalamnya. So eun bahkah tidak mempedulikan hal itu lagi.
Kim bum mendekati meja yang digunakannya untuk menyimpan buku – bukunya. Diambilnya salah satu foto berbingkai yang terletak di atas meja tersebut. tentu saja itu foto dirinya dan juga So eun ketika keduanya sedang berlibur ke desa bersama. Betapa saat – saat itu adalah, moment yang sangat membahagiakan dan tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Kim bum.
“Kau masih menyimpannya?”
“Hm.” Kim bum meletakkan kembali bingkai foto tersebut. Ingin rasanya Kim bum mengulang masa – masa itu. Dimana hanya ada dirinya dan juga So eun. Hanya melihat senyum So eun dan tidak ada lagi yang dibutuhkannya selain wanita ini. Jadi bagaimana bisa Kim bum akan bertahan hidup jika So eun tidak ada bersamanya.
“Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semoga kau bisa menjalani hari – harimu dengan baik disana. Tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, karena disini aku akan senantiasa menjaga Ki bum oppa. Jangan khawatir aku akan menangis lagi, karena kupastikan kau tidak akan pernah melihat satu tetes air matapun jatuh dari mataku, walaupun sebenarnya aku ingin mengeluarkannya.”
Kim bum memutar tubuhnya, dibimbingnya So eun kedalam pelukannya. Seberapa besarpun keinginan Kim bum untuk menahannya tetap saja semua itu tidak akan berhasil. Bahkan jika diijinkan saat ini juga Kim bum pasti akan membawa pergi So eun bersamanya. Tidak peduli dimanapun asalkan hanya ada mereka berdua itu sudah lebih dari cukup.
“Bisakah aku membawamu pergi bersamaku? Tidakkah kau juga menginginkan hal ini, kau tidak bisa membohongi perasaanmu. Aku tau kau memiliki perasaan yang sama padaku!” lagi dan lagi Kim bum berubah menjadi pria yang cengeng, pria itu menitikkan air mata, entah sudah keberapa kalinya pria itu menangis, tapi tentu saja Kim bum tidak akan mempedulikanya.
“Apa aku bisa melakukannya? Aku bahkan terlalu takut hanya untuk sekedar memikirkannya. Jadi bagaimana bisa aku melakukannya? Apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Aku akan menjelaskan semuanya pada Ki bum hyung, aku akan mengatakannya. Aku akan meminta ijinnya agar bisa membawamu pergi bersamaku.” Kim bum menghentikan kalimatnya, pria itu memejamkan matanya tentu saja tidak yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya. Apa benar Kim bum bisa bersikap egois seperti itu. Apakah Kim bum bisa menyakiti hati sang kakak, dengan cara mengambil istrinya. Apa ini yang diharapkan Kim bum selama ini, mencoba mengalahkan kakaknya dengan mengambil orang yang dicintai sang kakak.
“Aku tidak mau lagi, kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupku. Tidak ingin lagi. Aku tidak bisa melepaskanmu. Pergilah bersamaku So eun-ssi. Aku mohon!”
“Aku datang kesini bukan untuk pergi bersamamu Kim bum-ssi. Aku datang menemuimu karena aku ingin menyelesaikan semua perasaanku padamu. Perasaan ini tidak seharusanya ada.” So eun mengeluarkan tubuhnya dari dekapan Kim bum. Wanita itu memundurkan tubuhnya, sedikit menjauhi Kim bum.
“Terimakasih sudah menemaniku selama ini. aku tidak akan pernah melupakanmu Kim bum-ssi.” So eun tersenyum, seraya membungkukkan badanya. Ini yang terakhir kalinya. So eun bisa melihat Kim bum.
So eun melangkahkan kakinya menjauhi Kim bum. Sudah cukup untuk hari ini, wanita itu tidak boleh lama – lama tinggal ditempat ini. bisa saja pilihan yang sudah difikirkan matang – matang ini akan berubah lagi jika wanita itu tidak sesegera mungkin meninggalkan apartemen tersebut.
“Tidak bisakah kau tetap tinggal bahkan aku sanggup berulang kali memintanya padamu? Apa kau benar – benar tidak ingin mempertahankan ini semua?” Teriak Kim bum, tepat disaat So eun ingin meninggalkan apartemennya.
“Kau benar – benar akan membunuhku jika kau melangkahkan kakimu lagi. Kau tidak boleh pergi dari tempat ini So eun-ssi. TIDAK BOLEH!” Teriak Kim bum.
So eun tidak mempedulikan Kim bum, wanita itu tetap pada pendiriannya untuk melepaskan Kim bum dari hidupnya. ini sudah menjadi keputusannya.
“Kau membuatku marah. Kenapa kau tidak pernah melihat keberadaanku So eun-ssi? Aku yang ada dihatimu saat ini, aku yang kau cintai saat ini dan akulah yang seharusnya menjadi suamimu saat ini. Tidakkah selama ini kau menyadarinya? Apakah hatimu benar – benar tidak bisa melihatnya, atau kau memang sengaja menghindarinya?”
Kim bum menarik kembali lengan So eun, agar wanita itu bisa direngkuhnya. So eun berontak, wanita itu tidak ingin menerima pelukan dari Kim bum dan tentu saja itu membuat Kim bum marah. Bagaimanapun juga Kim bum sudah terlalu lama bersabar, jadi jika hari ini kesabarannya itu sudah tidak bisa dikendalikan lagi, jangan pernah salahkan Kim bum. So eun yang membuatnya buta, dan wanita itu juga seolah – olah membutakan hatinya dari perasaan yang sesungguhnya.
“Aku harus pergi Kim bum-ssi.” Teriak So eun, mencoba melepaskan tubuhnya dari cengkraman Kim bum.
“Untuk apa kau datang kemari jika sekarang kau ingin pergi So eun-ssi? Apa kau pikir, kau bisa datang dan pergi sesuka hatimu!” Kim bum masih mencengkram kuat tubuh So eun agar wanita itu tidak bisa pergi.
“Aku kemari karena ingin menyelesaikan semuanya. Tidak bisakah kau melepaskanku? Aku sudah lelah dengan semuanya.”
“Tidakkah kau mengerti aku, apa kau kira aku tidak lelah dengan semua ini. aku bahkan jauh lebih lelah dari pada dirimu. Ini semua memang salahku, aku juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Bukan aku yang memulainya… bukan aku.”
“Biarkan aku pergi.. kumohon lepaskan aku.” Teriak So eun histeris, gadis itu menghempaskan lengan Kim bum yang sejak tadi mencengkram bahunya. Tangan itu terlepas, Kim bum bahkan hanya bisa terkesima ketika mendengar permohonan dari So eun.
“Apa kau benar – benar ingin pergi jika aku mengatakan semuanya. Siapa aku dan apa yang telah kulakukan padamu dimasa lalu, benarkah kau masih tetap memohon padaku untuk melepaskanmu.” Batin Kim bum. Lidah itu kelu tidak mampu digerakkan. Kalimat itu akan tetap tersimpan, sampai kapanpun Kim bum tidak akan punya keberanian untuk mengungkapkannya.
Pria itu menarik tubuh So eun lagi, dikecupnya bibir wanita tersebut. Jika So eun akan berontak, Kim bum tetap akan melakukannya. Mungkin ini yang terakhir kalinya bagi Kim bum untuk menikmati setiap momentnya bersama dengan So eun.
So eun tidak menolak ciuman dari Kim bum, tapi wanita itu juga tidak membalasnya. So eun hanya ingin membiarkan Kim bum melakukan apapun pada dirinya. Sesungguhnya hal ini juga membuat hati So eun sakit.
“Aku akan selalu mencintaimu, apapun yang terjadi.” Kalimat itu terucap ketika Kim bum melepaskan pagutan bibirnya pada bibir So eun. Kim bum memandang lurus mata So eun, masih berharap wanita yang ada didepannya ini menghentikan niatnya untuk pergi walau itu tidak mungkin.
Direngkuhnya tubuh So eun yang saat ini bergetar hebat. So eun memang tidak mengeluarkan air mata karena wanita itu sekuat tenaga menahan air matanya.
So eun membenturkan kepalanya pada dada bidang milik Kim bum. Kim bum memeluk tubuh So eun dengan erat. Kedua hati itu sudah sama – sama memantapkan hatinya, memilih jalannya masing – masing.
Pintu apartemen terbuka, menampilkan sosok pria tinggi dengan bentuk fisik yang sama seperti Kim bum. Pria itu Ki bum, pria itu berdiri mematung ditempatnya menyaksikan apa yang saat ini tengah dilakukan oleh Kim bum dan juga So eun.
“Oppa..” Seruan itu keluar dari So eun yang ditujukan untuk suaminya yang akan memutar tubuh dan melangkahkan kakinya menjauh dari apartemen tersebut.
So eun melepaskan pelukan Kim bum dan segera berlari menyusul langkah panjang suaminya. Inilah saatnya, So eun harus memutuskan siapa yang akan dipilihnya. So eun harus menyelesaikan semua masalah hatinya dengan dua kembar yang sudah mengacaukan hidupnya..
Kim bum tidak menghalangi niat So eun untuk pergi, wanita itu memang harus menentukan pilihannya. Kim bum akan berusaha siap jika memang kenyataannya nanti dirinya bukanlah pria yang dipilih oleh So eun. Asalkan pria itu adalah kakaknya, mungkin Kim bum akan rela walau terpaksa.
“Oppa… “ akhirnya So eun bisa menyusul langkah Ki bum. Wanita itu bahkan sudah menggenggam lengan kekar suaminya.
“Kau menipuku..” desisi Ki bum. Pria itu menghentikan langkahnya dan menatap tajam sang istri.
“Maafkan aku oppa.. kurasa ini memang jalan yang terbaik untuk kita. Kumohon biarkan aku pergi.” Pinta So eun. Gadis itu menitikkan air matanya ketika memohon pada Ki bum. Air mata yang tidak bisa dikeluarkannya jika berada dihadapan Kim bum, kini tumpah ruah ketika wanita itu bersitatap dengan suaminya. So eun berusaha tegar di hadapan Kim bum, sedangkan wanita ini terlihat tidak berdaya di hadapan Ki bum.
“Kau ingin pergi bersama si brengsek itu? Kau meninggalkanku karena pria itu?” Ki bum marah. Pria itu tidak menyangka jika ketakutannya selama beberapa bulan ini memang akan benar – benar terbukti. Dan hari inilah bukti itu terwujud. So eun meminta Ki bum untuk melepaskannya.
So eun menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan pergi dengan siapapun. Tidak denganmu ataupun Kim bum-ssi..” So eun menundukkan kepalanya, tidak ingin menatap mata tajam Ki bum terlalu lama, karena sorot mata itu menyakitkan untuk So eun.
“Biarkan aku menjalani hidupku sendiri. Aku ingin lepas dari bayang – bayang kalian berdua. Aku tidak ingin menyakiti siapapun.” So eun melepaskan genggaman tangannya pada lengan Ki bum. Diberikannya pelukan singkat untuk Ki bum sebelum akhirnya So eun melangkahkan kakinya meninggalkan Ki bum yang masih diam mematung.
***
So eun berdiam diri di dalam kamarnya. Sudah lama So eun meninggalkan tempat nyaman ini. Dulu sebelum So eun bertemu dengan Ki bum dan menjalin kasih dengan pria itu, kamar inilah yang selalu membuatnya nyaman. So eun memeluk kedua lututnya, wanita itu menangis dalam diam. Berkali – kali ibunya mengetuk pintu kamarnya, So eun tetap tidak bergeming dari posisinya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang Tuhan…?” Tanya So eun dalam hati. Nafasnya tercekat, paru – parunya seperti mengecil, rasanya detik ini jiwa So eun seperti tidak berada dalam raganya.
“Tidak bisakah kau membuka pintunya sebentar sayang.. jangan membuat ibu khawatir So eun-ah.” So yeon tidak henti – hentinya membujuk sang putri yang sudah dua hari mengurung dirinya di dalam kamar. So yeon tau apa yang saat ini difikirkan oleh So eun. So eun sudah menceritakan semua masalahnya pada sang ibu.
“Mau sampai kapan kau akan menyiksa dirimu sendiri So eun-ah? Bukankah ini keputusan yang sudah kau pilih, tidakkah kau mempertanggung jawabkan pilihanmu?”
Tetap tidak ada suara dari dalam kamar, selain isak pilu yang terdengar menyakitkan.
“Bukalah pintunya sayang. Bukankah masih ada ibu yang selalu disampingmu. Kau tidak sendiri.” Lagi – lagi So yeon membujuk sang putri, walaupun sudah jelas – jelas usahanya itu tidak akan pernah berhasil.
***
Kim bum duduk di lantai, pria itu tidak kalah kacau dengan kondisi So eun. Hari ini adalah hari terakhirnya berada di Korea sebelum dirinya berangkat ke Jepang besok pagi. Kim bum tau So eun tidak memilihnya tapi pria itu masih berharap akan ada suatu keajaiban yang menghampiri dirinya.
Ponsel yang tergeletak disampingnya bergetar, walaupun enggan Kim bum tetap harus menjawab panggilan yang saat ini masuk ke dalam ponselnya. Mungkin jika orang lain yang saat ini menghubungi Kim bum, pria itu tidak akan pernah mau menerimanya mengingat saat ini dirinya tidak dalam kondisi yang baik. Tapi tentu saja Kim bum tidak bisa mengabaikan panggilan tersebut ketika mengetahui bahwa orang yang sedang menghubunginya saat ini adalah kakaknya.
“Tidakkah kau ingin mengunjungi mereka?” pertanyaan itu langsung bisa didengar oleh Kim bum ketika pria itu mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Bisakah kau pergi bersamaku hari ini. Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi mereka.” Ki bum memang tidak suka berbasa – basi, dan Kim bum paham akan hal itu.
“Hm.” Hanya itu yang bisa diberikan Kim bum sebagai jawaban dari pertanyaan sang kakak. Kim bum mematikan ponselnya, ketika pria itu merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan lagi dengan Ki bum.
Kim bum dan Ki bum sudah berada didalam mobil, keduanya akan melakukan perjalanan ke Busan. Dua kembar ini akan mengunjungi makam kedua orang tuanya atas usul Ki bum. Hening, tidak ada seorangpun yang berniat memecah kesunyian yang melanda. Kim bum tetap fokus pada kemudinya, sedangkan Ki bum lebih memilih untuk memejamkan matanya walaupun pria itu tidak tertidur.
Rasa bersalah menghantui keduanya. Bukan hanya Kim bum ataupun Ki bum saja yang merasa bersalah pada satu sama lain, melainkan keduanya. Baik Kim bum dan Ki bum sama – sama ingin mengucapkan kata maaf, tapi seperti tidak punya keberanian.
Masih belum ada yang ingin mengeluarkan suara terlebih dahulu, hingga mobil berhenti disebuah pemakaman umum yang terletak didaerah tak padat penduduk.
Dua pria itu keluar dari dalam mobilnya. Keduanya menghampiri makam kedua orang tuanya. Saling memanjatkan doa untuk orang tua mereka. sama – sama bersujud di depan makam kedua orang tua mereka. Bagi Kim bum ini akan menjadi kali terakhirnya untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya.
“Aku sangat merindukan tempat ini.” Ki bum melangkahkan kakinya dengan langkah penuh semangat layaknya anak kecil. Kota kelahirannya ini sudah banyak berubah, apalagi bukit yang saat ini tengah didakinya.
“Apa yang mau kau lakukan hyung?” Kim bum heran kenapa Kakaknya mengajak ketempat ini. Untuk apa Ki bum mengajaknya kebukit ini. Kim bum benar – benar malas jika harus pergi ketempat ini lagi, tempat ini akan membuat kenangan – kenangan menyakitkan yang selama ini sudah dipendam Kim bum menjadi muncul lagi.
“Kau takut datang ketempat ini?” Ki bum masih asyik melangkahkan kakinya, pandangannya lurus kedepan. Tidak sedikitpun Ki bum menoleh pada adiknya yang berjalan dibelakangnya.
“Kita pulang hyung.. kondisimu masih belum sepenuhnya pulih!” ucap Kim bum. Pria itu masih setia mengekori langkah kakai Ki bum.
Kini keduanya sampai di atas sebuah jembatan gantung yang cukup panjang. Ki bum menghentikan langkahnya, begitu juga Kim bum. Rintik – rintik air hujan mulai turun dari langit. Kabut tebal menyelimuti jurang yang membentang dibawah jembatan gantung tersebut,
“Ayo kita pergi Hyung.. sebentar lagi hujan akan turun.” Pinta Kim bum. Kim bum tidak ingin terjadi apa – apa pada kakaknya, Ki bum baru saja sadar dari komanya. Dan Kim bum tidak ingin melihat Ki bum sakit lagi.
Ki bum masih berdiri membelakangi sang adik. Tidak disahutinya permintaan Kim bum. Pria itu seperti bergelut dengan sisi lain dalam dirinya. “Siapa wanita yang kau selamatkan Kim bum?” Suara itu bernada dingin.
Kim bum mematung, tidak bisa menjawab pertanyaan yang telah diajukan oleh kakaknya. Bukan tidak bisa, pria itu terlalu takut untuk menjawabnya. Kim bum lebih memilih diam dan tidak berkata apapun, Kim bum yakin tanpa dirinya menjawabpun kakaknya sudah tau apa jawabannya. Mungkinkah Ki bum hanya memastikan kebenaran akan ceritanya dulu.
Ki bum membalikkan badannya, mata itu memandang sosok pria yang ada di depannya dengan tatapan membunuh. “Bagaimana bisa kau menghianatiku?” desis Ki bum.
Kim bum melangkahkan kakinya, berniat mendekati sang kakak. Kepala itu masih tertunduk, belum berani membalas tatapan sang kakak. “Hyung…” panggilnya. Lirih.
“Kau mengambilnya dariku.. kau membuat wanitaku berpaling. Kenapa harus dia yang kau sukai Kim bum-ah!” Ki bum berteriak. Pria itu mendorong tubuh Kim bum yang hendak mendekatinya. Tidak ingin Kim bum mendekatinya, Ki bum pun memundurkan tubuhnya kebelakang.
“Dia mencintaiku, kau tidak punya hak sama sekali untuk merebutnya. Dia tidak benar – benar menyukaimu, dia hanya mencintaiku. Apa kau tidak sadar jika dia itu hanya milikku.” Teriakan Ki bum semakin lantang. Suara itu benar – benar membuat Kim bum merah padam.
“Kau yang menciptakan semua kekacauan ini. Tidakkah kau sadar jika semua ini terjadi atas ulahmu?” Kini mata itu menatap lekat ke iris tajam milik sang kakak. Kim bum sudah tidak takut lagi pada Ki bum. Jika Ki bum sudah berani menyalahkan kesalahan yang pria itu ciptakan pada Kim bum, untuk apalagi Kim bum harus menghormati sang kakak, sedangkan sang kakak bahkan tidak sedikitpun menghargai dirinya.
“Jangan membentakku… Jangan pernah menyalahkanku, ini semua tidak akan pernah terjadi jika kau tidak pernah menyetujui usulku. Bukankah kau bisa menolak permintaanku waktu itu.”
“Jika aku menolak permintaanmu waktu itu, apakah aku tetap tidak akan bertemu dengannya. Tanpa aku menjadi dirimupun, kami akan tetap dipertumakan oleh takdir.”
“Berhenti bicara omong kosong. Takdirmu bersama dengan Im yoona, bukan Kim so eun. Wanita itu yang kau tolong, bukan So eun. Selamanya kau tidak akan pernah mendapatkannya.”
“Kau masih tidak bisa membuka matamu hyung… apa kau masih tidak sadar sudah berapa kali So eun menyerukan namaku walau aku tidak sedang bersamanya. So eun tetap memanggil namaku walaupun dia mengira aku adalah dirimu. Kau benar – benar tidak tau, atau sengaja tidak ingin tau?” Kim bum mengeluarkan semua yang selama ini ingin dia sampaikan pada sang kakak. Pria itu bahkan menyerang kakaknya dengan kalimat menyakitkan secara bertubi – tubi. Kim bum sudah hilang kendali.
“Aku tidak percaya dengan semua ini.” lirih Ki bum. Pria itu seperti kehilangan tenaganya.
Kim bum mengeluarkan sebuah kalung yang sedari tadi berada disaku jaketnya. Diulurkannya kalung itu kedepan, dan langsung menampilkan foto dirinya semasa kecil.
“Kau masih tidak sadar, bahwa So eun memang mencintaiku dan bukannya dirimu. Kau masih berpura – pura tidak melihatnya padahal jelas – jelas kau mengetahuinya. So eun bahkan menyimpan dan memandangi fotoku sampai saat ini. tidakkah kau menyadari hal itu.”
Ki bum berjalan mendekati tubuh Kim bum. dicengkramnya kerah baju sang adik. “Dasar brengsek.” Maki Ki bum. Tidak terima dengan kalimat – kalimat yang dilontarkan sang adik, Ki bum pun hendak memukul wajah sang adik jika saja Kim bum tidak lebih dulu menahan tangannya.
Kedua pria itu saling menahan pukulan yang akan mendarat ketubuh satu sama lain, bahkan keduanya tidak peduli jika saat ini hujan tengah mengguyur tubuh mereka. Dua kembar itu ingin melampiaskan kekesalan hati masing – masing. Walaupun hujan turun dan suara petir menggelegar tetap saja tidak menghalangi niat mereka untuk melampiaskan hasrat saling melukai tersebut.
Hujan yang turun semakin deras, bahkan kabut tebal seakan menutupi apapun disekitar jembatan. Jembatan yang kini dipijak oleh dua kembar bergoyang hebat karena aksi keduanya yang saat ini tengah saling dorong.
Ki bum mendorong tubuh Kim bum hingga tubuh sang adik limbung dan membentur rajutan tali pembatas jembatan, bahkaan kini kepala Kim bum sudah limbung kebelakang, lalai sedikit saja, Kim bum bisa langsung terjatuh dari jembatan gantung tersebut.
“Apa yang kau lakukan hyung.. kau mau membunuhku?” Teriak Kim bum, berusaha mendorong tubuh Ki bum yang saat ini mencengkram erat lehernya.
“Memangnya apa lagi yang harus kulakukan selain membunuhmu.” Ki bum pun membalas teriakan Kim bum dengan tidak kalah lantangnya.
Kim bum melihat wajah sang kakak yang saat ini benar – benar sedang marah. Wajah itu terlihat menyeramkan untuk Kim bum. Selama ini Kim bum selalu menghormati Ki bum, karena memang hanya Ki bum lah satu – satunya keluarga yang dimiliki oleh Kim bum saat ini. Mungkin, memang inilah balasan yang akan Kim bum dapatkan karena telah melukai hati sang kakak. mungkin dengan Ki bum membunuh Kim bum, perasaan kesal Ki bum akan hilang.
Mungkin inilah saatnya untuk Kim bum, menebus kesalahanya pada sang kakak. mati di tangan kakaknya mungkin akan lebih menyenangkan dari pada dia harus hidup, namun tidak pernah mendapatkan apapun yang dia inginkan.
“Lakukan apapun yang kau mau hyung..” Pasrah Kim bum. Kini Kim bum tidak lagi melawan apapun yang telah dilakukan Ki bum padanya. Bahkan kini, kedua tangan yang sedari tadi mencengkram kedua lengan Kakaknya itu terkulai lemas di kedua sisi badannya. Kim bum pasrah akan apapun yang dilakukan Ki bum pada dirinya.
Ki bum melepaskan cengkraman erat tangannya pada leher Kim bum. Tentu saja Ki bum tidak serius dengan ucapannya. Seberapa besarnya rasa benci dan marah Ki bum pada Kim bum, tetap saja Ki bum menyayangi adiknya. Selamanya.
Kim bum memundurkan tubuhnya kebelakang. Pria itu menangis. “Bahkan dari semenjak masih anak – anak. Kita selalu menyukai hal yang sama.” Gumam Ki bum.
“Maafkan aku hyung…” sesal Kim bum.
“Aku selalu menyusahkanmu Kim bum-ah…” lagi – lagi Ki bum menghindar ketika Kim bum mendekatinya. Setiap satu langkah Kim bum berjalan kedepan, disaat itu pula Ki bum melangkahkan kakinya kebelakang. Ki bum benar – benar tidak ingin Kim bum mendekatinya.
“Kita pulang hyung… aku janji, besok aku akan meninggalkan semuanya. Aku tidak akan mengambil apapun yang sudah menjadi milikmu.. aku akan pergi dari hidupmu.. Selamanya!”
“Cukup.. Aku tidak percaya dengan apapun yang kau katakan sekarang… aku tidak akan pernah percaya padamu lagi.”
“Maafkan aku hyung.. maafkan aku.”
Hujan masih setia turun dari langit, membasahi kedua anak manusia yang saat ini tengah bergelut dengan fikiran mereka. Sang kakak masih tidak ingin membuka sedikit hatinya untuk memaafkan kesalahan sang adik yang dinilainya sangat fatal. Sedangkan sang adik masih belum menyerah untuk mendapatkan maaf dari sang kakak.
Ki bum kembali memundurkan badannya, tubuhnya sudah basah kuyup akibat guyuran hujan yang sangat deras, ditatapnya tubuh sang adik yang tidak kalah berantakannya dengan dirinya. Ki bum sudah memaafkan Kim bum, jauh sebelum adik tercintanya itu memintanya saat ini. Hati dan mulut memang sering tidak sejalan, dan itulah yang saat ini telah dirasakan oleh Ki bum.
Waktu berikutnya, kaki Ki bum melangkah kembali kebelakang dan karena licinnya tempat yang saat ini menjadi pijakannya akibat guyuran hujan tubuh pria itupun limbung dan terperosok terjun dari jemabatan.
Kim bum yang melihat hal tersebut, segera meneriakkan nama sang kakak dan secepat mungkin untuk menggapai tangan Ki bum agar pria itu tidak terjatuh kebawah. “Ki bum Hyung…” tangan itu bisa diraih oleh Kim bum. Terlambat sedikit saja, sudah dipastikan bahwa saat ini tubuh Ki bum akan menghantam bebatuan yang ada di bawah jembatan tersebut.
“Bertahanlah.. Kumohon bertahanlah hyung..” sekuat tenaga Kim bum menarik tubuh sang kakak. Postur tubuh yang sama besarnya, ditambah guyuran hujan yang membasahi tubuhnya membuat Kim bum mengalami kesulitan untuk menarik tubuh sang kakak.
“Kau bisa melepaskanku Kim bum-ah.. biarkan aku menebus semua kesalahan yang telah kuperbuat padamu.. biarkan aku mati Kim bum-ah..”
“Apa yang kau katakan… aku tidak akan pernah melepaskanmu.. aku akan berusaha menarikmu hyung..”
“Kumohon kabulkan satu permintaanku Kim bum.. tolong jaga So eun untukku, aku tau dia juga mencintaimu.. selama ini memang akulah yang salah.. aku merelakannya untukmu.” Ki bum tersenyum. Maut sudah menjemputnya, dan Ki bum tidak ingin menyesal seumur hidupnya. Setidaknya dengan bersama Kim bum, So eun akan jauh lebih baik dibanding hidup bersama dengan kebohongan yang diciptakan oleh Ki bum selama ini.
“Terimakasih, sudah membuatnya tersenyum kembali.. adikku..” Ki bum sudah meneyerah, percuma saja Kim bum mencengkram erat tangannya, karena tidak mungkin Kim bum bisa menarik tubuhnya kembali keatas. Menit berikutnya tangan Ki bum terlepas dari cengkraman Kim bum, bersamaan dengan jatuhnya tubuh Ki bum kebawah..
“Hyung…” teriak Kim bum.. seakan tidak rela melihat sang kakak yang jatuh ke dasar jurang. Kim bum pun segera lompat dari atas jembatan. Pria itu tidak peduli jika nanti nyawanya hilang sekalipun. Mungkin dengan loncat bersama dan mati bersama sang kakak akan jauh lebih menyenangkan. Bukankah selama ini mereka selalu bersama, lahir bersama matipun juga bersama.
Tubuh dua pria itu melayang di udara, keduanya sudah siap menjemput ajalnya. Mungkin inilah jalan yang tepat untuk kedunya, mati bersama dan tidak mendapatkan cinta dari wanita yang mereka puja. Sama – sama tidak memiliki sang wanita, mungkin akan lebih adil bagi keduanya jika seperti ini.
***
“Maaf sudah mengganggu waktumu.. Yoona-ssi.”
Yoona, tersenyum simpul. Walaupun tidak mengalihkan pandangannya dari minuman yang sedari tadi dihadapannya, Yoona tetap mendengarkan kalimat yang dilontarkan oleh So eun, wanita yang sudah mengajaknya bertemu dan akhirnya keduanya memilih untuk duduk saling berhadapan di cafe ini.
“Aku sudah terlalu lama menunggumu So eun-ssi.”
So eun nampak terkejut dengan perkataan wanita yang saat ini tengah duduk berhadapan dengannya. apa maksud dari perkataan wanita ini. kenapa wanita ini menunggunya?
“Apa yang ingin kau tanyakan padaku?” Yonna bertanya pada So eun dengan nada suara yang sangat lembut. Wanita itu apa maksud dan tujuan So eun datang menemuinya. Tanpa Yoona bertanya pada So eun pun, wanita itu tau bahwa So eun akan membahas hubungannya dengan Ki bum.
“Aku membenci diriku sendiri Yoona-ssi. Bisakah kau jelaskan semua yang kau tau padaku! Aku yakin kau mengetahui semua yang tidak aku ketahui.”
Yoona tersenyum simpul, ditatapnya lekat wajah So eun yang saat ini juga menatapnya. Apa yang harus Yoona jelaskan. Bukankah semuanya sudah jelas, kenapa So eun masih belum memahaminya juga. Kenapa gadis ini meminta Yoona menceritakan semuanya padahal sudah jelas – jelas So eun sendiri mengetahui kisahnya.
“Aku masih belum yakin dengan perasaanku sendiri Yoona-ssi. Aku tidak percaya bahwa aku bisa menghianati suamiku sendiri.”
“Kau tidak menghianatinya… Apa yang kau lakukan ini memang salah, tapi ini semua adalah takdir. Apakah kau masih belum bisa menyadari siapa yang sebenarnya ada di hatimu So eun-ssi?”
“Apa kau masih mencintai Yoona-ssi?”
Yoona terkekeh. Pertanyaan So eun ini menyudutkan dirinya, tapi Yoona masih tetap bisa menyikapinya. Sama seperti pertanyaan Ki bum tempo hari dan sudah pasti jawaban yang akan diberikan Yoona pun akan sama dengan saat itu. “Ya… Aku masih mencintainya, dan kuharap kau tidak keberatan.” Jawab Yoona santai.
So eun menghela nafasnya. Tubuh itu lemas. Bukan sedih karena suaminya dicintai oleh wanita lain tapi So eun sedih pada dirinya sendiri karena tidak bisa sekuat Yoona yang tetap bisa mempertahankan perasaannya pada orang yang dicintainya, sedangkan So eun sendiri lebih memilih menyerah.
“Apa kau masih tidak menyadarinya? Selama ini dia sudah memberitaumu walaupun tidak secara langsung!”
“Aku mencoba mengabaikannya.” So eun menyesali perbuatannya.
“Kau bodoh So eun-ssi. Bagaimana bisa kau mengabaikannya, padahal selama ini dia selalu mencoba meyakinkanmu. Kau harus bersikap tegas pada dirimu sendiri.”
“Bagaimana bisa aku mengembangkan perasaan terlarangku ini Yoona-ssi. Aku ini wanita yang sudah bersuami. Haruskah aku berselingku dengan adik dari suamiku dan menghianati suamiku!”
Kali ini Yoona lah yang menghela nafasnya. Keadaannya memang tidak semudah yang dia bayangkan. So eun memang berada dalam posisi yang sangat menyudutkan. Wanita di hadannya ini sudah pasti tidak bisa memilih salah satu di antara keduanya. Kedua pria itu sudah memberi peran penting pada hidup So eun. Mana bisa Yoona menyalahkan semuanya pada So eun.
“Sampai saat ini aku masih mencintai suamimu So eun-ssi. Aku memang tidak pantas mengatakan semua ini padamu. Aku bahkan siap jika nantinya kau akan membunuhku karena telah lancang menyukai suamimu. Tapi ijinkan aku untuk mempertahankan suamimu.” Lanjut Yoona. Yoona sudah mengeluarkan semua keberaniannya untuk mengatakan hal ini. ini bukan hanya untuk So eun, tapi juga untuk diri Yoona sendiri. Yoona sudah lama menyukai Ki bum walaupun pria itu sudah beristri. Yoona tau perasaannya ini salah, tapi keadaan saat ini juga menguntungkan untuk dirinya.
Yoona bukan wanita jahat yang hobi merusak rumah tangga orang, ini masalah hati dan semuanya memang harus kembali ke jalannya.
“Apa kau akan terus berdiam diri disini..?” Lagi – lagi Yoona menginterupsi So eun, agar wanita itu segera mengambil keputusan.
“Ya.. kau bisa mempertahankan perasaanmu, dan aku akan memperjuangkan perasaanku. Terimakasih Yoona-ssi”
So eun segera berlari meninggalkan Yoona yang hanya bisa tersenyum di tempatnya. So eun memang harus memperjuangkan perasaannya sebelum semuanya terlambat.
So eun mengemudikan mobilnya. Tujuannya saat ini adalah tempat itu, tempat dimana pertama kalinya So eun bertemu dengan pria yang menyelamatkan hidupnya. Entah kenapa hati So eun mengatakan bahwa ujung dari permasalahannya ada disana.
Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk So eun bisa sampai ditempat yang menjadi tujuannya ini. Dengan langkah – langkah panjang So eun menaiki bukit itu, walaupun keadaan tanah yang dipijaknya itu lumayan licin So eun tetap melangkah maju. Melihat dari keadaan pohon – pohon yang basah sudah bisa dipastikan bahwa beberapa saat yang lalu hujan telah mengguyur tempat ini.
Walaupun dengan susah payah dan waktu yang cukup lama untuk sampai di tempat ini akhirnya So eun pun bisa sampai di jembatan tempat dulu dirinya tengah pingsan dan seseorang menyelamatkan hidupnya.
So eun melangkahkan kakinya untuk menyusuri jembatan gantung itu. Kali ini tidak ada lagi perasaan takut yang mendera dirinya, tapi ada yang aneh. Kali ini rasa takut itu berubah menjadi rasa kehilangan. Ada sesuatu yang janggal dengan tempat ini, dan So eun bisa merasakannya. Perasaan apa ini, kenapa hati So eun tiba – tiba menjadi sakit.
“Kim bum-ssi.” Teriak So eun.
“Kim bum-ssi!” lagi – lagi So eun menyerukan nama pria itu. Entah kenapa So eun merasa bahwa saat ini Kim bum sedang berada tidak jauh darinya. Apa benar saat ini Kim bum berada di dekatnya, kenapa So eun tidak bisa menemukannya. Apakah ini hanya halusinasi So eun semata.
So eun melangkahkan kakinya, mengedarkan pandangannya keseluru penjuru, tapi tentu saja yang bisa dilihatnya hanyalah pohong – pohon yang menjulang. Tidak ada Kim bum atau siapapun ditempat ini. So eum melangkahkan kakinya kembali hingga ujung sepatunya menginjak sebuah benda yang membuat So eun ingin melihat benda tersebut. So eun menajamkan matanya ketika menyadari bahwa benda yang tadi diinjaknya adalah kalungnya. Kalung yang berisikan foto Kim bum. Diambilnya kalung tersebut, dan So eun pun segera melongokkan kepalanya ke bawah.
“Kim bum-ssi… Kim sang bum..” Teriak So eun. Air matapun meleleh dari mata indahnya. Ada perasaan takut pada diri So eun saat ini. Apa terjadi sesuatu pada pria yang dicintainya itu.
“Ki bum oppa… Ki bum oppa… Kim bum-ssi… Kim bum-ssi.. Oppa.” Teriakan So eun semakin lantang dan menggema diseleruh penjuru, tapi tidak ada sahutan dari sang pemilik nama. Hanya ada hembusan angin yang menjadi jawaban akan panggilan So eun.
Tubuh itu merosot kebawah hingga terduduk, So eun hanya bisa menangis. Mungkinkah terjadi sesuatu yang buruk pada suami dan pria yang dicintainya. Jika memang benar tentu saja So eun tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
–
–
–
Satu tahun kemudian
“Apa pekerjaanmu hari ini sudah selesai?”
So eun menolehkan kepalanya, ketika dia mendengar suara sahabatnya. “Aku sudah lama menunggumu Yoona-ya.”
“Aku mendapatkan benda ini dari seorang pria ketika aku hendak masuk ke dalam tokomu.” Yoona menyodorkan amplop coklat berukuran sedang pada So eun.
So eun pun segera mengambil amplop itu dari tangan Yoona. Membuka amplop itu dengan perlahan dan mengeluarkan isinya. So eun terkejut ketika mendapati isi yang ada didalam amplop tersebut. Satu lembar foto. Dan foto itu berisikan pria yang sangat dirindukannya.
“Dimana pria yang memberimu amplop ini Yoona-ya?” Teriak So eun. So eun segera berlari keluar dari toko kuenya meninggalkan Yoona yang terlihat bingung dengan apa yang dilakukan So eun.
Yoona segera mengambil kertas yang dijatuhkan So eun tadi. Yoona sangat kaget ketika membalik kertas tersebut. kertas itu adalah foto Kim bum dan Ki bum yang tengah berpelukan dan sedang tersenyum.
Yoona segera menyusul So eun. Dan kini dua wanita itu tengah berhadapan langsung dengan dua pria yang sudah amat sangat dirindukannya. Kim bum dan Ki bum tengah berdiri tegap dihadapan keduanya. Kedua pria itu tengah melemparkan senyuman cerah mereka pada kedua wanita yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
“Kita kembali untuk kalian.” Ucap Kim bum dan Ki bum bersamaan dengan kedua tangan yang merentang bersiap menyambut wanita – wanita yang dirindukannya.
So eun segera menghambur ke pelukan Kim bum, sedangkan Yoona dengan ragu mendekati Ki bum dan secepat mungkin Ki bum pun meraih wanita yang mencintainya itu kedalam pelukannya.
“Kita merindukan kalian.” Ucap So eun dan Yoona bersamaan.
***
Januari 2008
Seorang pria tampan berusia sekitar 20 tahunan tengah berada di dalam sebuah cafe yang terletak tak jauh dari rumahnya. Saat ini dia sedang berada di depan kasir sambil memperhatikan daftar menu yang terpampang jelas di atas kepala seorang kasir.
“sepertinya anda sering sekali kesini?” tanya sang kasir pada pemuda yang saat ini ada dihadapannya.
“rumahku tidak jauh dari sini, jadi aku senang datang kesini.” jawab pemuda itu sambil tersenyum ramah.
Setelah pemuda itu memesan apa yang dia inginkan, pemuda itu pun mencari tempat duduk yang nyaman untuknya sambil menunggu pesanannya datang.
Pemuda itu memilih tempat duduk yang dekat dengan kaca agar dia bisa melihat keadaan luar. Ketika tengah asyik memperhatikan pemandangan di luar, pemuda itu kaget kala ada seorang gadis tengah berdiri memandangnya.dan sepertinya gadis itu sedang bicara pada si pemuda.
“yaa.. oppa, kenapa kau ada disitu?” tanya sang gadis pada si pemuda yang ada di dalam cafe. Sembil menampilkan wajahnya yang lucu
“oppa.. aku mencintaimu.. aku menyukaimu..” ucap gadis itu lagi pada si pemuda. Gadis itu mengatakannya. Mengatakan isi hatinya, walaupun saat ini pasti dia sangat malu karena seorang pelayan yang mengantarkan pesanan pemuda yang dipanggilnya oppa tadi tengah memperhatikannya.
Harusnya gadis itu tau, kalau si pemuda tidak akan bisa mendengar suaranya. Mengingat keadaan mereka yang saat ini tengah terhalang oleh sebuah tembok kaca.
“oppa tunggu aku, aku akan menghampirimu.” Ucap gadis itu lagi.
Si pemuda itu hanya bisa tersenyum melihat tingkah gadis yang ada di depannya tadi. Dia benar – benar tidak tau apa yang telah diucapkan oleh gadis itu. Tapi pemuda itu tampaknya sangat senang bisa melihat gadis tadi.
Dia benar – benar cantik. Aku sangat mengaguminya. Betapa cantiknya dia saat itu, andai saja aku tidak pergi. mungkin dia bisa menjadi milikku. Aku tidak menyangka, setelah aku kembali mereka sudah menikah. (si pemuda)
gadis itu sudah memasuki cafe dan berniat menghampiri pemuda tadi. Namun ketika dia sudah sampai tempat duduk pemuda tadi, dia tidak menemukannya, tidak ada pemuda itu. Kemana dia? pikir gadis itu.
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke semua penjuru dan tidak menemukan pemuda tadi. Kemana dia pergi.
Gadis tadi mendengar Sebuah suara ketukan dari balik kaca. Dan gadis itu pun menoleh ke sumber suara. Dia sedikit terkejut ketika melihat pemuda tadi sudah berada di luar. Kapan pemuda itu keluar, kenapa gadis itu tidak melihatnya.
“yaa.. apa yang kau lakukan disitu. Aku mencintaimu..” ucap pemuda itu sambil berlutut dari balik kaca. Sambil membawa seikat bunga. Dan tersenyum kepadanya.
Si gadis benar – benar tampak terkejut. Kenapa terasa aneh, kenapa seperti berbeda. Kapan pemuda itu mengganti bajunya kenapa cepat sekali. Beribu pertanyaan yang ada didalam kepala gadis itu namun akhirnya dia tersenyum senang.
Si pria memeluk tubuh wanitanya. Dan sang wanita pun membalas pelukan pria tersebut.
“Maukah kau menikah denganku So eun-ah?” So eun menganggukkan kepalanya, ketika pria yang dulu telah menyelamatkan nyawanya itu melamarnya.
Tidak jauh dari tempat So eun, Kim bum hanya bisa memperhatikan apa yang dilakukan kakaknya itu. Jika saja pelayan wanita tadi tidak menumpahkan kopi ke bajunya sudah pasti Kim bum akan mengatakan pada So eun bahwa dirinya lah yang telah menyelamatkan So eun tempo hari.
“Apa kau tidak ingin mengatakan padanya? Ini masih belum terlambat!” Pelayan wanita yang menumpahkan kopi pada baju Kim bum itu mencoba memperingatkan Kim bum, bahwa pria itu masih memiliki kesempatan untuk mengejar cintanya. Tapi Kim bum tidak ingin merusak kebahagiaan kakaknya, jadi Kim bum memutuskan untuk mengubur perasaannya dan memilih pergi dari cafe itu.
“Kau adalah pria bodoh.” Gumam pelayan tersebut, ketika melihat tubuh Kim bum yang keluar dari pintu samping cafe. Dan mata pelayan itu kini tertuju pada So eun yang masih berpelukan dengan pria yang berwajah mirip dengan Kim bum. pria itu adalah saudara kembar Kim bum. Ki bum.
“Yoona-ssi, cepat antarkan pesanan ini!” sebuah suara menginterupsi pelayan tersebut untuk segera kembali pada pekerjaanya.
Akhirnya rahasia cinta itu terungkap. Cinta itu kembali pada tempatnya masing – masing. Tidak ada lagi hati yang melukai dan dilukai.
~~~THE END~~~